Koneksi Antar Materi – Modul 2.3
Coaching
untuk Supervisi Akademik
Oleh,
Aminudin, M.Pd, SMP Negeri 2 Angsana
CGP
Angkatan 10 Kelas 32 Banten_Matias Krispatana
Bismillah.
Pada
Modul 2.3 ini saya telah banyak mempelajari materi terkait Supervisi Akademik
yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi diri setiap pendidik di sekolah.
Pendekatan yang digunakan adalah dengan coaching. Pengertian coaching dalam konteks
Pendidikan adalah bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau
hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Keterampilan
coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat
(potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun
anggota Masyarakat. Ada tiga prinsip utama yaitu kemitraan, proses kreatif, dan
memaksimalkan potensi. Kompetensi inti coaching yang harus dimiliki diantaranya
adalah kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan
pertanyaan berbobot. Selanjutnya percakapan dengan berbasis coaching
menggunakan alur TIRTA, yang merupakan akronim dari Tujuan, Identifikasi,
Rencana Aksi, dan Tanggung Jawab. Terdapat tiga tahapan dalam supervisi
akademik, yaitu pra observasi (perencanaan), observasi (pelaksanaan), dan pasca
observasi (tindak lanjut).
Selama
saya mempelajari modul 2.3 ini saya merasa senang, dan termotivasi ketika saya
menyelami pembelajaran tentang coaching untuk supervisi akademik. Mempelajari
materi Coaching untuk Supervisi Akademik membuat saya seperti berada di ruang
kemerdekaan belajar yang sesungguhnya. Saat menjadi coachee, maka saya
merasakan betapa saya dihargai dengan digali oleh pertanyaan-pertanyaan yang
membuat saya menemukan sendiri solusi dari permasalahan saya. Ketika menjadi
coach, saya juga merasakan betapa kita harus belajar sabar untuk mau
mendengarkan aktif, memberi kesempatan kepada coachee untuk menemukan solusi
tanpa kita ikut campur tangan memberikan saran dan masukan. Saat menjadi
pengamat saya juga belajar bagaimana menjadi pengamat yang harus sabar, belajar
terbuka melihat sisi-sisi baik seseorang, tidak memberikan judgement dari
apapun yang diamati.
Hal
yang sudah baik adalah memperoleh pemahaman dan pencerahan tentang materi
coaching untuk supervisi akademik dan sudah mempraktikkannya. Saya berusaha
memberikan pembelajaran yang bermakna dan kontekstual kepada siswa, mengajak
siswa untuk belajar dengan kehadiran penuh dan wellbeing. Saya mampu
berkolaborasi dengan rekan sesama CGP saat mempraktikkan proses coaching
menggunakan alur TIRTA dan sesuai dengan prinsip coaching dalam ruang
kolaborasi dan demonstrasi kontekstual, baik berperan sebagai coach, coachee,
maupun pengamat (observer).
Namun
ada beberapa kompetensi yang masih harus saya perbaiki yaitu membersamai dengan
mindfulness. Mengasah kemampuan dalam mengajukan pertanyaan berbobot agar dapat
menggali informasi permasalahan pada diri coachee sehingga dapat menemukan
solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Keterkaitan
terhadap kompetensi dan kematangan diri pribadi saya adalah mengoptimalkan
kekuatan diri sebagai seorang pendidik yang mampu menjadi coach dan melakukan
coaching bagi orang-orang di lingkungan sekitar. Setelah mempelajari modul 2.3
tentang coaching dalam supervisi akademik, kompetensi saya mulai berkembang.
Ini ditandai dengan kemampuan saya mempraktikkan proses coaching menggunakan
alur TIRTA, baik sebagai coach, coachee, maupun pengamat. Saat mempraktikkan
proses coaching, saya harus mampu mengendalikan diri dari asumsi-asumsi pribadi
dan emosi sehingga dapat berpikir dan bertindak secara matang sesuai dengan
prinsip coaching yaitu kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi.
Prinsip
coaching dapat diterapkan jika kepala sekolah memiliki pengetahuan tentang
coaching dalam supervisi akademik dan mau mengaplikasikannya. Kegiatan
supervisi tidak hanya bertujuan sebagai bagian penilaian guru, tetapi juga
sebagai cara untuk meningkatkan kompetensi akademik guru. Supervisi harus
mencakup percakapan pra observasi dan pasca observasi. Dalam percakapan pra
observasi, kepala sekolah harus mendiskusikan perencanaan yang akan dilakukan
oleh guru, sedangkan saat pasca observasi, kepala sekolah memberikan umpan
balik atau tindak lanjut terkait pelaksanaan observasi kelas yang dilakukan
oleh guru.
Coaching
dalam supervisi akademik dapat berpengaruh dalam mewujudkan pemimpin
pembelajaran yang berpihak pada murid. Pembelajaran yang berpihak pada murid
adalah hal yang sangat penting untuk diterapkan dalam lingkungan sekolah. Agar
dapat mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid, guru harus memiliki
kompetensi menjadi pemimpin pembelajaran. Menjadi pemimpin pembelajaran berarti
memahami perkembangan murid secara menyeluruh, tidak hanya aspek kognitif
tetapi juga karakter dan sosial emosional murid. Dengan demikian, tujuan
coaching dalam supervisi akademik adalah mengembangkan kompetensi guru agar
kinerja mereka meningkat dan pembelajaran yang berpihak pada murid dapat
terwujud.
Tantangan
terberat adalah menyamakan pemahaman tentang coaching dalam supervisi akademik
kepada komunitas sekolah. Supervisi akademik sering dianggap sebagai penilaian
rutin kepala sekolah terhadap guru saja, padahal seharusnya dapat dijadikan
sebagai pedoman untuk meningkatkan kompetensi guru.
Solusi
yang mungkin bisa terus dicoba adalah dengan mengadakan diskusi dan pelatihan
pada komunitas belajar di sekolah yang membahas supervisi akademik berbasis
coaching. Selanjutnya terus mengajak rekan sejawat belajar terkait coaching
melalui PMM.
Pengalaman
saya pernah disupervisi oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah, namun
kegiatan supervisi tersebut hanyalah sebatas menjalankan kewajiban saja tanpa
mengetahui makna supervisi yang sebenarnya. Kegiatan supervisi akademik hanya
dilakukan saat kepala sekolah atau pengawas melakukan observasi kelas saja
tanpa adanya kegiatan pra observasi dan pasca observasi, sehingga hanya sebatas
pemberian nilai kepada guru saja.
Setelah
ini saya berharap kegiatan supervisi ini harus dijadikan salah satu bagian
dalam peningkatan kompetensi guru dalam bidang akademik dengan menggunakan
prinsip coaching yaitu kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi.
Pada
Modul 2.1, dalam pembelajaran berdiferensiasi, murid dikelompokkan berdasarkan
kebutuhan belajarnya agar dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki. Begitu
pula dengan praktik coaching, yang harus memaksimalkan potensi coachee agar
dapat menemukan sendiri solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Selanjutnya
pada Modul 2.2, dalam pembelajaran sosial emosional, terdapat teknik STOP dan
mindfulness yang dilakukan untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif. Saat
melakukan coaching, seorang coach harus menerapkan teknik ini agar dapat fokus
dan hadir sepenuhnya saat melakukan proses coaching.
Terakhir,
jika keterampilan coaching sudah meningkat maka pengembangan kompetensi guru
sebagai pemimpin pembelajaran akan meningkat pula. Percakapan-percakapan
coaching membantu para guru berpikir lebih dalam (metakognisi) dalam menggali
potensi yang ada dalam diri dan komunitas sekolahnya sekaligus menghadirkan
motivasi internal sebagai individu pembelajar yang berkelanjutan yang akan
diwujudnyatakan dalam buah pikir dan aksi nyata demi tercapainya kualitas
pembelajaran yang berpihak pada murid.
Alhamdulillah!